Adakah makna yang lebih penting dari tahun baru kecuali kenyataan bahwa kita semakin tua dan terus saja menua? Kenanglah tahun baru 10 tahun yang lalu. Kemudian bayangkan tahun baru 10 tahun yang akan datang. Waktu sungguh tak bisa dibendung. Jangankan membuat kita serasa awet muda, menahan laju perjalanannya sendiri pun waktu tak bisa.
Itulah yang membuat tahun baru, seperti juga ulang tahun kelahiran, sering dianggap tak lebih dari pergantian angka dan susunan hari, sehingga bagi sebagian besar kita, tak perlulah urusan semacam ini dipikirkan rumit-rumit. Nikmati saja dengan pesta.
Maka, tahun baru selalu berlangsung tanpa kesan. Siklus per 365 hari itu akhirnya benar-benar terlewat begitu saja. Kenangan pergantian tahun tak bergeser dari rasa kantuk setelah begadang semalaman, hiruk malam yang pikuk di seluruh penjuru bumi, juga dendang lagu riang dan dansa tua-muda.
Di tengah bebunyian terompet tak berirama dan teriakan anak-anak kecil yang girang menyaksikan langit penuh cahaya dari kembang api saling silang, kita tak kunjung menemukan cara yang lebih baik merayakan tahun baru. Seperti halnya “esok” sering kita sambut tanpa persiapan, “kemarin” pun kerap kita tinggalkan begitu saja.
Kalaulah “esok” bisa dibeli, kita tentu tak perlu terompet, apalagi pesta. Tak perlu juga refleksi atau evaluasi, sebab kita bisa memilih hendak menjalani esok dengan jenis nasib seperti apa. Masalahnya, andaipun ada pedagang menjajakan esok, dengan macam-macam pilihan itu, apa kita mau membelanjakan segenap harta untuk membelinya?